Nekat: Jalan Kaki Menyeberangi Batas Negara (Border Immigration) Thailand-Malaysia
Jadi ceritanya, untuk mengejar supaya dapat nomor antrian untuk berobat di Penang, kami mau tidak mau harus bisa sampai ke Penang maksimal esok pagi.
Namun sangat disayangkan, ternyata mini bus/van menuju Penang telah berangkat sekitar 2 jam sebelum kami tiba di terminal bus Hat Yai, Thailand. Dan untuk malam ini tidak ada van lagi yang berangkat ke Penang. Sudah berputar-putar mencari loket yang menjual tiket namun jawaban dari tiap loket selalu sama, yaitu van baru akan berangkat esok jam 8 pagi.
Bingung. Di negeri orang, nggak tahu harus gimana, kalau bermalam di Hat Yai kami jelas tidak akan bisa berobat karena begitu sampai Penang pendaftaran hampir bisa dipastikan telah tutup, padahal berobat merupakan tujuan utama perjalanan kami.
Akhirnya kami sepakat untuk pergi ke perbatasan Malaysia, manatahu disana ada bus/van yang menuju Penang. Setelah bertanya pada bagian informasi di Terminal Hat Yai, kami disarankan untuk menaiki van yang tujuan akhirnya lewat di daerah menuju perbatasan Thailand-Malaysia. Perjalanan dari Terminal sampai ke perbatasan sekitar 30 menit. Aisy sudah mulai rewel (wajar sih, karena kami sudah melalui perjalanan selama lebih dari 12 jam, sejak jam 6.30 pagi).
Akhirnya sampai juga di daerah perbatasan. Namun ternyata van tersebut tidak melewati border immigration. Jadi kami harus berjalan kaki sekitar 5-10 menit menuju border imigration. Lumayan deg-degan, scara yang lain menyebrang minimal dengan sepeda motor, sedangkan kami hanya berjalan kaki saja.
Masuklah kami ke ruang imigrasi untuk pemeriksaan paspor. Sekitar 3 menit mengantri, petugas imigrasi memanggil saya dengan bahasa Thai yang jelas saya tidak tahu artinya, tetapi yang jelas dari gesture tubuhnya adalah menyuruh kami untuk diperiksa duluan karena bawa baby, alhamdulillah. Setelah dicap kami pun keluar dari gedung imigrasi.
Tujuan kami selanjutnya adalah kantor imigrasi Malaysia. Jarak kantor imigrasi Malaysia jika berjalan kaki mungkin sekitar 30 menit. Rencananya, kami akan menghadang bus atau van yang lewat untuk ke imigrasi, manatahu bisa sampai di Kedah atau syukur2 Penang, selebihnya kami bisa naik taksi menuju hotel yang telah kami booking.
Setelah keluar dari gerbang imigrasi, ada seorang kakek yang berusia sekitar 70 tahun sedang duduk di pinggir jalan. Kakek tersebut menyapa kami dengan ucapan salam. Kami pun menjawabnya. Kakek tersebut kemudian bertanya hendak kemana, akhirnya cerita pun mengalir dan jadilah kami duduk dan ngobrol dengan kakek itu , sekalian manatahu ada bus/kendaraan yang lewat, pikir kami.
Alhamdulillah, semua berkat pertolongan Allah, tak disangka, ternyata kakek tersebut menawarkan tumpangan kepada kami. Tumpangan menuju imigrasi Malaysia dan tumpangan untuk bermalam di rumahnya di daerah Jitra, Malaysia. Kakek tersebut ternyata sedang menunggu jemputan dari temannya.
Berselang sekitar 15 menit, temannya pun datang. Kami pun ikut naik bersama mereka. Di imigrasi kami hanya perlu menunjukkan paspor kami untuk di cap dari dalam mobil (drive thru) tanpa harus scan wajah maupun sidik jari. Mungkin karena kami ikut dalam mobil milik warga Malaysia, sehingga tidak perlu antri dan turun dari mobil.
Kami pun singgah untuk makan malam di kedai nasi lemak. Saya memesan nasi, sayur, dan telur, suami memesan nasi goreng, sedangkan kakek tersebut memesan kwetiauw yang dicampur dengan sayur, udang, dan cumi (nggak tahu nama makanannya apa, tapi terlihat enak, hehe). Ketika akan membayar ternyata kakek tersebut menolak uang kami. Kakek tersebut berkata, uangnya untuk sarapan besok pagi saja. Alhamdulillah. Oiya, kami akhirnya memutuskan untuk ke Penang keesokan harinya, setelah shubuh.
Kakek tersebut memiliki 2 rumah di daerah Jitra, 1 rumah beliau tempati bersama istrinya, satu rumah lagi digunakan oleh anaknya untuk kantor notaris, namun saat ini tidak digunakan dan akan dikontrakkan. Kami diantar ke rumah yang akan di kontrakan tersebut. Rumahnya cukup luas, dengan gerbang, halaman dan teras, ruang tamu, 3 kamar tidur, 3 kamar mandi dan dapur. Kakek tersebut mempersilahkan kami bermalam disana dan menggunakan fasilitas yang ada. Kata kakek itu, besok shubuh kami akan diantar oleh temannya menuju stasiun kereta api.
Tak terasa sudah pukul 00.30. Kami pun beristirahat. Kami bangun sekitar jam 5, kemudian packing barang dan sholat shubuh. Setelah menanti-nanti karena kami lupa tidak meminta kontak teman kakek tersebut, akhirnya sekitar pukul 6.30 teman kakek tersebut datang kami pun pergi, namun ternyata waktunya terlalu mepet jika naik kereta api, karena 6 menit lagi kereta akan berangkat, sedangkan kami masih di jalan.
Akhirnya kami memutuskan naik bus saja. Karena menuju terminal sangat jauh dan teman kakek tersebut terburu-buru, akhirnya kami naik taksi seharga 20 Ringgit. Alhamdulillah kami sampai di Terminal. Kami pun membeli tiket bus menuju pelabuhan penyeberangan ke Penang, seharga 12 ringgit.
Bus yang kami naiki merupakan bus first class, dan memang bagus, kursinya lebar dan empuk, ac nya sangat dingin. Busnya juga on time, walaupun penumpangnya saat itu hanya sekitar 6 orang. Kalau di Indonesia mungkin bakal nge-time lagi atau jalan pelan-pelan nunggu penumpang penuh, kecuali bis damri, hehe.
Setelah sekitar 2-3 jam alhamdulillah kami sampai di pelabuhan. Untuk menuju Penang kami harus menyebrang dengan kapal veri. Kami pun berjalan menuju kapal. Ditengah perjalanan ada petugas yang menyarankan kami naik free shuttle bus saja, karena kalau jalan kaki sekitar 15 menit, dan harus naik tangga, ditambah kondisi cuaca yang sedang gerimis.
Alhamdulillah, kami pun naik free shuttle bus. Kemudian kami membeli tiket veri seharga 1,2 RM. Beberapa saat kemudian kami sampai di Penang dan lamgsung menuju Rumah Sakit untuk berobat.
Benar-benar merasakan pertolongan Allah begitu dekat. Terimakasih kepada Bapak Zein atas bantuannya dan kepercayaannya kepada kami, semoga Allah membalas segala kebaikan bapak, kalau bukan dengan izin Allah kemudian karena bantuan bapak, bisa jadi kami sudah terkatung-katung di jalan.
Fyi, Bpk. Zein ini adalah seorang guru, dulu sebelum terjadi tsunami sempat menjadi relawan di Aceh. Bahasa Indonesia beliau sangat fasih. Beliau sepertinya juga cukup disegani oleh orang2 disana, baik dari petugas imigrasi, pemilik rumah makan yang kami singgahi, bahkan supir taksi pun tahu beliau.
Diselesaikan di Kutacane, Jum’at, 23 September 2016 pukul 15.38 WIB
itu border imigrasi kaya mexico sama US gitu ya din? Ak baru tw kalo Malaysia ma Thailand ga perlu nyebrang pulau :O