Pengalaman Naik Pesawat Susi Air
Assalamu’alaikum..
Gimana kabarnya teman-teman? Semoga sehat selalu ya.. Ceritanya lagi pingin semangat nulis lagi di blog semenjak udah berasa vakum nulis lumayan lama (banget!). Sebenarnya udah banyak banget bayangan mau ngedraft ini-itu, tapi ujung-ujungnya belum jadi-jadi, salah satunya tentang pengalaman saat pertama kali naik pesawat Susi Air. Awalnya mau nulis pengalaman pertama naik Susi Air, tapi karena tertunda-tunda, akhirnya Alhamdulillah sekarang udah kali ketiga naik Susi Air. Akhirnya judulnya diubah aja deh jadi pengalaman naik pesawat Susi Air, wkwk.
Yup, pada postingan kali ini, saya akan share pengalaman kami (saya, Aisy 2 tahun 1 bulan, dan suami saya) ketika naik pesawat Susi Air dengan rute Kutacane – Banda Aceh. Ini (November 2017) merupakan pengalaman pertama bagi saya dan Aisy menaiki pesawat ‘perintis’ a.k.a pesawat kecil yang hanya bisa menampung 12 penumpang serta masing-masing satu pilot dan co-pilot. Terlebih saat itu saya sedang hamil 13 minggu. Benar-benar pengalaman baru bagi saya dan juga Aisy.
Baca juga: Barang yang Harus Dibawa Saat Bepergian dengan Bayi
Well, tanpa perlu berpanjang-panjang lagi, ini dia ulasan (review) saya saat naik pesawat Susi Air, hehe.
Bagi yang belum tahu, (tapi kayaknya udah pada tahu sih ya, apalagi semenjak Bu Susi jadi menteri, hehe). Susi Air merupakan maskapai penerbangan milik Ibu Menteri Susi Pudjiastuti. Awal mulanya, pesawat-pesawat Susi Air ini digunakan untuk mengangkut ikan. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat (terutama di daerah terpencil) terhadap transportasi udara, akhirnya Susi Air menjadi salah satu maskapai di Indonesia yang melayani penerbangan (terutama) ke daerah-daerah pelosok di Indonesia, salah satunya di provinsi Aceh.
Baca juga: Memesona itu Ketika Mampu Bangkit Dari Kesedihan Akibat Kehilangan Orang Tercinta
Ceritanya, akhir November tahun 2017 lalu, suami akan mengadakan perjalanan dinas ke Banda Aceh. Kami rencananya akan ke Pekanbaru di awal bulan Desember, karena kebetulan ada long weekend yang lumayan lah waktunya dipakai untuk refreshing. Kami sudah membeli tiket ke Pekanbaru semenjak saya belum hamil (Alhamdulillah saat itu kami dapat tiket harga promo). Nah, daripada suami harus bolak-balik dari Kutacane ke Banda Aceh (untuk dinas), lalu kembali lagi ke Kutacane (untuk menjemput saya dan Aisy) kemudian dilanjutkan perjalanan dari Kutacane ke Medan, dan dari Medan ke Pekanbaru (berasa banget rempong, capek, dan habis banyak biaya transportasi), akhirnya diputuskanlah agar saya dan Aisy ikut ke Banda Aceh. Lagipula saat itu saya dan Aisy sudah 1 tahun lebih tidak ke Banda Aceh dan bertemu keluarga-keluarga yang berada disana. Jadi niatnya memang sekaligus silaturahim dengan keluarga plus mengenang jaman-jaman waktu dulu tinggal di Aceh, hehe.
Baca juga: Kisah Sedih di Balik Wisuda
Akhirnya sekitar 2 minggu sebelum keberangkatan, suami membeli tiket pesawat Susi Air. Pertimbangannya kenapa memilih jalur udara karena saat itu saya sedang hamil muda dan jika dengan pesawat waktu tempuh dari Kutacane ke Banda Aceh tidak terlalu lama dibandingkan dengan jalur darat yang memakan waktu 16 sampai 20 jam, yaitu HANYA 1 jam 50 menit. Saya capslock karena kalau dengan pesawat ‘besar’ waktu tempuh 1 jam 50 menit hampir setara dengan perjalanan Medan-Jakarta, hihi. Ya wajar saja sih, karena dari segi ukuran dan spesifikasi, pesawat ini tergolong pesawat perintis, belum lagi medan yang harus dihadapi cukup lumayan ngeri karena melewati jajaran bukit-bukit sedangkan pesawat tidak bisa terbang terlalu tinggi karena ukurannya yang mungil.
Saat itu kami terbang di hari Jum’at. Alhamdulillah ada pegawai kantor suami yang bersedia mengantarkan kami ke airport, kalau tidak ada yang mengantar terpaksa menggunakan becak, karena hanya becak lah transportasi umum disini (Kutacane) yang bisa menjangkau daerah-daerah terutama yang harus masuk ke jalan atau gang-gang kecil. Di tengah perjalanan menuju bandara, suami dan pegawai kantor tersebut singgah di masjid untuk sholat Jum’at, sedangkan saya dan Aisy menunggu di dalam mobil.
Setelah selesai sholat, kami melanjutkan perjalanan kami menuju ke bandara. FYI, bandara di Kutacane ini baik dari segi gedung dan landasan terbangnya hanya berukuran kecil, jadi hanya pesawat-pesawat kecil seukuran Susi Air lah yang bisa landing disini. Dan memang faktanya hanya maskapai Susi Air yang ada di bandara ini, wkwk.
Begitu sampai di bandara kami langsung check in. Jangan dibayangkan check in seperti kita check in pada umumnya ya, karena disini semuanya masih serba manual. Saat check in, kami diharuskan menyerahkan bukti berupa tiket dan KTP.
My First Ticket
Oiya, untuk tiket Susi Air ini hanya bisa dibeli di kantor atau kantor perwakilan Susi Air ya. Meskipun bisa booking by phone, tapi untuk pembelian tiket Susi Air memang belum bisa online, baik di suami saya (promosi, wkwk) maupun di situs-situs booking tiket pesawat yang lainnya. Untuk harga tiketnya sendiri berbeda-beda tergantung rute. Namun yang jelas udah fixed rate, tidak seperti maskapai-maskapai pada umumnya yang harganya fluktuatif dan dibagi per kelas. Harga tiket rute Kutacane – Banda Aceh dan sebaliknya kurang lebih (tergantung airport tax) sekitar Rp 450.000,- untuk dewasa dan sekitar Rp 40.000,- untuk tiket infant.
Setelah selesai check in, para penumpang dipersilahkan untuk menimbang diri dan juga barang yang dibawa, baik dibawa di kabin maupun di bagasi. Karena yang namanya naik pesawat kecil, jadi memang harus sangat-sangat dijaga agar muatan pesawat tidak overweight.
Selesai ditimbang, kami pun menuju ke boarding room. Boarding roomnya juga terbilang kecil (mungkin sekitar 4 x 4 m). Dari boarding room, kita bisa melihat pesawat yang lepas landas maupun landing dengan sangat jelas, karena jaraknya yang begitu dekat.
Setelah pesawat tiba, kami pun bergegas untuk naik ke pesawat karena mentargetkan bisa duduk di belakang pilot, wkwk. Oiya, untuk tempat duduk di pesawat memang tidak diatur sebagaimana maskapai yang lain, jadi sistemnya siapa cepat dia dapat.
Alhamdulillah pada penerbangan pertama kami berhasil duduk tepat di belakang pilot. Jadi bisa ngelihat dengan jelas kerjanya pak pilot selama menerbangkan pesawat, wkwk.
Untuk penerbangan kali kedua, kami duduk di seat paling belakang (bagian ekor pesawat), karena sudah kehabisan tempat duduk, huhu.
Sedangkan untuk penerbangan ketiga, awalnya kami berhasil duduk di belakang pilot, tapi kemudian diminta pindah oleh pilotnya karena kalau membawa anak-anak khawatir suara anak-anak tersebut (terutama jika menangis) akan mengganggu komunikasi antara pilot dengan petugas ACT, terlebih saat itu kondisi di Kutacane sedang kurang baik karena sedang hujan abu akibat erupsi gunung Sinabung. Akhirnya di penerbangan ketiga kami pindah ke baris nomor 2.
Penerbangan pertama Alhamdulillah saat lepas landas berjalan dengan lancar, meskipun guncangannya cukup terasa, seperti saat naik kora-kora di Dufan, wkwk.
Pilot dan co-pilot yang sepertinya hampir semua orang asing juga sudah terlatih untuk berbicara dengan bahasa Indonesia, terutama saat greeting dengan para penumpang. Di tengah perjalanan qaddarullah hujan dan beberapa kali menembus gumpalan awan. Rasanya cukup membuat saya deg-degan sembari ‘ngekepin’ perut, hihi. Saat pesawat terkena rintikan hujan, rasanya seperti ketika hujan mengenai mobil. Bunyi rintikan hujan sangat jelas terdengar. Saya pribadi sih berasa lumayan ngeri, tapi pilot dan co-pilotnya justu terlihat sangat santai, sambil sesekali tersenyum ke penumpang. Mungkin udah biasa banget kali ya bagi mereka, wkwk.
Di penerbangan kedua kami rute Kutacane – Banda Aceh (Februari 2018), karena duduk di bagian ekor, guncangan jauuuh lebih terasa. Dan kala itu memang terasa kurang smooth baik saat lepas landas maupun landing.Di penerbangan kedua ini saya juga sempat mabuk (walaupun tidak muntah) mungkin karena saat itu telat makan dan guncangan yang terasa lebih wow.
Sedangkan di penerbangan ketiga rute Banda Aceh – Kutacane (Februari 2018), pesawat berjalan sangat mulus terutama ketika lepas landas dan landing. Walaupun sebelum terbang kondisi cuaca di Banda Aceh sangat mendung dan hujan deras sehingga penerbangan ‘molor’ sekitar 1 jam-an. Dan qaddarullah akibat erupsi gunung Sinabung, kami sempat berputar-putar cukup lama (sekitar 45 menit) di langit. Bahkan di bandara Kutacane sempat diinfokan bahwa pesawat yang kami naiki diprediksi akan gagal landing karena abu yang cukup tebal (kami tahu hal ini dari pegawai kantor yang menjemput kami). Alhamdulillah kami bisa landing dengan selamat, walaupun ketika mendarat, abu vulkanik memang terlihat cukup mengepul akibat gesekan antara roda pesawat dengan landasan terbang.
Oiya, selama di pesawat, disediakan snack box beserta air mineral kemasan gelas. Salah satu fungsinya mungkin agar telinga tidak terlalu sakit karena proses menelan makanan dan minuman. Kali pertama terbang, snack box yang diberikan cukup sederhana dengan 3 jenis jajanan pasar di dalamnya. Sedangkan untuk kali kedua dan ketiga, snack boxnya sudah terlihat lebih lux walaupun isinya hanya 1 roti dan air mineral.
Meskipun sudah dipakai untuk proses mengunyah dan menelan, selama terbang dengan Susi Air (terutama ketika akan landing), telinga kami tetap terasa sangaaaattt sakit terutama telinga sebelah kanan, padahal sudah memakai earplug. Sehingga earplug ini memang penting banget, must bring item lah kalau mau naik pesawat, terutama pesawat kecil. Terlebih lagi Ramadhan tahun 2016 lalu gendang telinga saya sempat sakit (kata dokter gendang telinga tertarik) akibat melakukan perjalanan panjang dan cukup sering (dengan pesawat) sedang kondisi tubuh saya saat itu sedang pilek, qaddarullah.
Well, itu tadi pengalaman kami naik pesawat Susi Air, semoga bermanfaat dan bisa menambah wawasan ya (kayak apa aja, wkwk). Oiya, dulu saat saya baca review penerbangan dengan Susi Air, rata-rata ada peragaan panduan keselamatan oleh kru pesawat sebelum masuk ke pesawat. Namun sepertinya peraturan tersebut tidak dijalankan baik di bandara Banda Aceh maupun Kutacane. Agak sedih sih, karena kan seharusnya safety itu nomor 1, meskipun tentunya kita berharap perjalanan akan berjalan dengan baik-baik saja. Tapi kalau misalnya (wal’iyadzubillah) terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, apakah yakin pilot dan kopilot bisa mendampingi para penumpang yang belum pernah menyaksikan peragaan panduan keselamatan agar tidak panik dan bisa menyelamatkan diri sesuai dengan prosedur keselamatan? Terlebih lagi ini kan pesawat kecil yang notabene berbeda dengan pesawat-pesawat besar pada umumnya, untuk berdiri saja harus menunduk. Belum tentu semua orang akan paham cara menyelamatkan diri dan lain-lainnya. Nggak usah jauh-jauh, dari cara pakai seatbeltnya aja udah berbeda dengan pesawat besar. Semoga hal ini bisa menjadi masukan terutama untuk managemen Susi Air ;).
Thanks for reading and see you on my next post, insyaAllah^^
Salam,
Dina Safitri
Sebelumnya salam kenal dari blogmashendra. Seru banget ya bisa merasakan perjalanan udara naik pesawat kecil. Kalo gak baca artikel ini, saya gak akan tau gimana rasanya naik pesawat kecil kayak Susi Air. Ternyata banyak hal yang membedakan ketika naik pesawat besar dengan pesawat kecil. Semuanya serba terbatas yah, sesuai dengan kemampuan jelajah terbang pesawat kecil.
Berarti Susi Air melayani penerbangan ke pelosok di seluruh Indonesia ya?? Tentu ini mendapat respon baik dari masyarakat, terutama yang tinggal di pelosok…. Nice sharing mba
Terima kasih atas feedback nya. Untuk rute-rute nya saya kurang tahu kalau yang di luar provinsi Aceh. Tapi memang susi air lebih mudah menjangkau ke daerah pelosok di Indonesia, salah satunya karena ukuran pesawatnya yang kecil
Saya jadi ngeri sendiri nih bayangin naik pesawat kecil gitu
Salam kenal
Sampai sekarang saya agak takut naik pesawat kecil. Jadi kalau mau naik pesawat ke bandara surabaya dulu via darat, padahal dari kota saya ada transport ke surabaya tapi pesawat kecil. 🙂
emang ngeri-ngeri sedep sih mbak naik pesawat kecil, apalagi kalau pas hujan atau angin kencang..