Teka-Teki: Sawah Apa yang Kalau Dipanen Jadi Rumah??
Sawah Apa yang Kalau Dipanen Jadi Rumah?
Kalau ada orang yang bertanya demikian ke kita, kita pasti bingung kan?berpikir lama…
Hmm.. kira-kira sawah apa ya? masa sih ada sawah yang kalau dipanen bisa jadi rumah?
Pertanyaan diatas sebenarnya adalah sebuah pertanyaan (teka-teki) yang ditanyakan ke teman saya oleh seorang gadis kecil (kalau saya tidak salah, saat itu dia baru duduk di kelas 1 SD).
Dan ternyata jawaban yang diberikan cukup logis, menggelikan, tetapi memang faktanya demikian, hihi
Mau tahu jawabannya? ternyata jawabannya adalah SAWAH DI POGUNG.. kenapa? karena kebetulan gadis kecil itu memang tinggal di kawasan Pogung. Lalu mengapa jawabannya sawah di Pogung? karena memang saat ini jumlah sawah di Pogung makin lama makin sedikit, dan tergantikan oleh rumah, kos-kosan, dan bangunan-bangunan yang sejenis.
Setelah sawah tersebut dipanen, lahannya digunakan untuk mendirikan bangunan, makanya setelah di panen dapat rumah.. :D.
Saya salut dengan pemikiran gadis itu, masyaAllah. Umurnya masih sangat kecil, tetapi pemikirannya sudah begitu kritis.
Memang miris rasanya, saat ini jumlah sawah makin lama makin berkurang, tidak hanya di Pogung.
Jikalau semua pemilik sawah berpikiran untuk mengganti sawahnya dengan perumahan-perumahan elit, lalu bagaimana kita bisa swasembada beras?Bagaimana kita bisa mandiri dan tidak bergantung pada produk impor? Lalu bagaimana dengan anak cucu kita kelak? Maka benar saja kalau tingkat impor beras di Indonesia meningkat.
Sedih rasanya, Indonesia yang dulu disebut-sebut sebagai negara agraris, kini lahan untuk bercocok tanam makin lama makin berkurang. Tidak hanya lahannya yang berkurang, minat untuk mengelola lahan pertanian pun agaknya sudah mulai luntur. Sehingga tidaklah salah jika ada yang bilang bahwa mayoritas penduduk Indonesia itu konsumtif, dan tanpa kita sadari, kita juga seperti sudah terlena dengan apa yang disiapkan ‘pasar’, sehingga sekarang apa-apa beli.
Saat ini jarang sekali ada orang yang mau bersusah payah, misal dalam hal menanam. Kebanyakan kita cari simpelnya saja, cari enaknya gimana, cari yang insyan, nggak mau susah-susah, nggak mau yang namanya repot-repot.
Ya pantas saja sekarang hawanya makin panas, karena jumlah oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis berkurang. Kenapa? Karena jumlah klorofil menurun akibat lahan yang telah beralih fungsi menjadi bangunan.
Tidak heran juga jika ada wabah tomcat yang menyerang ke pemukiman warga. Tomcat itu, sudah ada sejak jaman dahulu lho, tapi kenapa baru ngetrendnya akhir-akhir ini ya? Jawabannya mudah saja, dulu ekosistem di bumi tempat kita tinggal ini, masih dibilang cukup seimbang, antara jumlah air, tanah, pepohonan, dan lain-lain, sehingga semuanya dapat hidup secara berdampingan. Namun seiring berjalannya waktu, ekosistem mulai tidak seimbang lagi. Banyak binatang atau tumbuhan yang tidak dapat bertahan hidup karena habitatnya sudah berubah, sehingga lama kelamaan menyebabkan kepunahan.
Kembali lagi ke tomcat, kenapa tomcat sampai ‘menyerang’ ke pemukiman warga? yaitu karena tomcat sudah kehilangan habitat aslinya, sawah-sawah yang dulu ditinggali mereka kini telah berubah menjadi bangunan-bangunan megah yang menjulang tinggi. Jadi jangan salahkan tomcat kalau-kalau dia ‘mampir’ ke rumah kita, karena dia tidak bersalah. Justru sebaliknya, kita yang seharusnya mengintrospeksi diri kita, apa yang sudah kita lakukan terhadap lingkungan kita ini? Dan apa yang bisa kita lakukan terhadap perubahan ini?
Yuk bergerak, menanam, lestarikan ekosistem, dimulai dari lingkungan terkecil, diri sendiri dan karib keluarga.
Selesai ditulis di kamar tercinta, Wisma Raudhatul ‘Ilmi
Yogyakarta, 22 September 2012 22.07 WIB