Lindungi & Lestarikan Hutan dengan HCS (High Carbon Stock) Approach Toolkit Versi 2.0
Indonesia merupakan negara dengan hutan terluas kedua di dunia setelah Brazil, yaitu sekitar 140,3 juta hektar. Hutan-hutan di Indonesia merupakan rumah perlindungan terakhir bagi kekayaan dunia yang meliputi 10 persen spesies tumbuhan berbunga, 17 persen spesies burung, 12 persen spesies mamalia serta 7.3 persen spesies reptil dan amfibi dari seluruh dunia.
Menurut UU No. 41 tahun 1999, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Hutan memiliki banyak manfaat bagi keseharian kita, diantaranya sebagai sumber pangan, tempat penyimpanan air, rumah bagi flora dan fauna, penentu iklim dunia, dan juga sebagai sumber ekonomi (dengan memanfaatkan berbagai komoditas/hasil hutan).
Disamping itu, hutan juga berfungsi sebagai penampung karbondioksida yang berasal dari lingkungan (dari hasil pernafasan makhluk hidup, kendaraan bermotor, sisa buangan industri/pabrik, dan lain-lain) untuk kemudian diubah melalui proses fotosintesis menjadi oksigen yang kita hirup. Bayangkan saja, hutan di Indonesia mensuplai sebesar 60% oksigen ke seluruh dunia. Luasnya hutan di Indonesia juga menjadikan Indonesia memiliki peranan penting dalam menjaga kestabilan iklim dunia, melalui proses fotosintesis tanaman-tanaman di dalamnya. Bagi yang sudah lupa dengan reaksi fotosintesis, silahkan cek gambar dibawah ini ya:
Jadi, tanaman-tanaman akan menggunakan karbondioksida yang berasal dari lingkungan (atmosfer) dan air yang berasal dari tanah untuk melakukan proses fotosintesis dengan adanya bantuan dari cahaya (sinar) matahari. Dari proses tersebut, kemudian dihasilkan karbohidrat dan juga oksigen yang kita hirup. Namun, jika jumlah karbondioksida di udara berlebih (melebihi kemampuan tanaman dalam menyerap karbondioksida), maka hal ini akan menyebabkan terjadinya efek rumah kaca.
Sebagaimana yang dilaporkan oleh World Meteorological Organization (WMO), jumlah polusi karbondioksida di atmosfer terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan mencapai rekornya pada tahun 2013. Peningkatan jumlah karbondioksida di atmosfer ini menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan kemampuan tanaman hutan dalam menampung karbondioksida yang ada, sehingga akhirnya banyak karbondioksida yang menyelimuti atmosfer bumi.
Disisi lain, deforestasi (pembabatan hutan) terus saja terjadi di berbagai hutan, termasuk hutan-hutan di Indonesia, sehingga semakin mengurangi kemampuan hutan dalam menyerap karbondioksida. Pembabatan hutan untuk eksploitasi hasil hutan, industri agrikultur, penambangan, dan lain-lain ini berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan, punahnya satwa-satwa liar, terjadinya perubahan iklim, kebakaran hutan, dan berbagai dampak negatif lainnya.
Guiness Books of Record edisi 2008 mencatat bahwa Indonesia adalah negara yang paling cepat mengalami kerusakan hutan jika dibandingkan dengan 44 negara yang masih memiliki hutan. Kerusakan sebesar 2 persen per tahun setara dengan hilangnya wilayah hutan seluas 51 kilometer per segi setiap harinya.
Oleh karena itu, berbagai kalangan mulai dari perusahaan, lembaga penelitian, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang konservasi dan lingkungan, pemerintah, dan masyarakat yang bergantung pada hutan sepakat untuk menghentikan praktek deforestasi (pembabatan hutan), terutama di kawasan tropis. Karena hutan tropis memiliki keanekaragaman hayati tertinggi dan memberi berbagai jasa yang dibutuhkan oleh penduduk bumi, termasuk di dalamnya oksigen yang sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup kita.
Dalam beberapa tahun kebelakang, banyak perusahaan terkemuka di bidang industri, seperti industri kedelai, minyak sawit, pulp dan kertas, serta daging sapi yang setuju untuk menghapus deforestasi dari kegiatan dan rantai pasoknya. Sebagian besar bahkan telah setuju untuk melindungi kawasan ber-Nilai Konservasi Tinggi (kawasan NKT). Akan tetapi, banyak hutan sekunder yang berfungsi sebagai penyimpan karbon esensial, habitat bagi keanekaragaman hayati, dan penyedia hasil hutan bagi masyarakat lokal yang tidak dianggap sebagai kawasan NKT.
Pendekatan yang ada saat ini, seperti Nilai Konversi Tinggi (NKT), monitoring emisi gas rumah kaca, pemetaan partisipatif, dan lain sebagainya memang dapat memperlambat terjadinya deforestasi dan sekaligus tetap dapat menjamin keberlangsungan mata pencaharian masyarakat. Namun, pendekatan ini masih belum mampu untuk menghentikan pembukaan hutan secara keseluruhan.
Oleh karena itu, diperlukan suatu metodologi yang praktis, kuat secara ilmiah dan hemat biaya yang dapat membedakan kawasan hutan yang layak dengan kawasan yang terdegradasi dan memiliki karbon dan nilai keanekaragaman hayati yang lebih rendah. Hal ini bertujuan untuk melindungi kawasan NKT, lahan gambut dan lahan-lahan lain yang penting untuk masyarakat.
High Carbon Stock (HCS) Approach/ Pendekatan Stok Karbon Tinggi (SKT) merupakan sebuah terobosan bagi berbagai perusahaan, masyarakat, institusi dan praktisi teknis yang memiliki komitmen bersama untuk melindungi hutan alam sekunder yang tengah mengalami regenerasi, yang menyediakan cadangan karbon penting, habitat bagi keanekaragaman hayati dan mata pencaharian bagi masyarakat lokal.
High Carbon Stock (HCS) Approach merupakan metodologi gabungan baru, yang berlaku secara global untuk melindungi hutan alam dan mengidentifikasi lahan-lahan yang dapat diolah sebagai areal produksi komoditas secara bertanggung jawab.
Dan pada 3 Mei 2017, bertempat di Pulau Bali, diluncurkanlah toolkit terbaru dari HCS Approach yang dinamakan dengan High Carbon Stock (HCS) Approach Toolkit versi 2.0 yang merupakan pembaharuan dari versi sebelumnya yaitu HCS Approach Toolkit versi 1.0 yang diluncurkan pada bulan April 2015.
Metodologi ini diluncurkan oleh koalisi antara industri dan organisasi non-pemerintah (LSM) dan merupakan metodologi praktis pertama yang telah diuji dan dikembangkan di berbagai konsesi aktif di Asia dan Afrika.
HCS Approach ini merupakan suatu alat (toolkit) praktis yang dapat digunakan untuk produk apapun dan di negara manapun yang memiliki iklim tropis lembab untuk menanggapi kebutuhan atas perlindungan hutan di dalam pembangunan pertanian.
HCS Approach Toolkit dikelola oleh HCS Approach Steering Group, yaitu sebuah organisasi yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan, yang dibentuk pada tahun 2014 untuk mengelola HCS Approach. Steering Group (SG) dibentuk agar dapat mengawasi pengembangan selanjutnya dari metodologi tersebut, termasuk penyempurnaan terhadap definisi, objektif dan hubungan dengan pendekatan-pendekatan lainnya, untuk menghentikan praktek penggundulan hutan. SG pun memandu implementasi dari metodologi tersebut, berkomunikasi/berinteraksi dengan para pemangku kepentingan dan mengembangkan/menjalankan pengelolaan terhadap model dari metodologi tersebut.
Grant Rosoman, selaku Co-Chair dari High Carbon Stock (HCS) Steering Group menuturkan terkait deforestasi dan HCS Approach Toolkit:
“Membiarkan deforestasi atau pembabatan hutan alam demi perkebunan sudah merupakan suatu hal di masa lalu. Hari ini, kami meluncurkan sebuah toolkit dengan metodologi yang memberikan panduan teknis yang praktis dan terbukti kuat secara ilmiah, untuk mengidentifikasi dan melindungi hutan alam tropis,”
“Selama dua tahun, para pemangku kepentingan telah menyatukan berbagai upaya untuk menyepakati satu-satunya pendekatan global untuk menerapkan praktek ‘Non-Deforestasi’. Metodologi yang dihasilkan telah memperluas persyaratan sosialnya, pengenalan dan penerapan terhadap data cadangan karbon,yang mencakup teknologi baru termasuk penggunaan LiDAR, untuk mengoptimalisasi konservasi dan hasil produksi serta dapat diadaptasi bagi petani-petani kecil.”
“Koalisi yang unik ini telah bersatu, dalam menanggapi meningkatnya kekhawatiran akan dampak pembabatan hutan alam tropis terhadap iklim, satwa dan hak-hak masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hutan. Kami menyambut positif atas diterapkannya metodologi ini dalam skala yang luas untuk mendukung hak-hak dan mata pencaharian masyarakat lokal, menjaga kadar karbon hutan dan keanekaragaman hayati serta kegiatan pengembangan terhadap lahan-lahan olahan secara bertanggung-jawab,”.
Versi baru dari HCS Approach Toolkit ini mencakup penelitian ilmiah terbaru, evaluasi dari percobaan lapangan, serta topik-topik baru dan masukan-masukan dari berbagai kelompok kerja HCS Approach Steering Group.
Toolkit baru ini juga menyajikan penyempurnaan, penambahan dan perubahan-perubahan penting pada metodologinya, sebagai hasil dari ‘Kesepakatan Konvergensi’ antara HCS Approach dan HCS Study, pada November 2016 lalu. Dengan telah dilengkapinya HCS Approach Toolkit Versi 2.0, HCS Steering Group saat ini dapat fokus pada uji coba metodologinya, agar dapat disesuaikan bagi para petani kecil, serta memperkuat persyaratan sosial yang dikembangkan sebagai bagian dari proses konvergensi HCS.
Secara lebih luas HCS Approach ini melakukan stratifikasi (penjenjangan) vegetasi yang terdapat pada suatu hamparan menjadi beberapa kelas. Setiap kelas vegetasi divalidasi melalui kalibrasi dengan estimasi stok karbon pada biomasa pepohonan di atas tanah. Diagram berikut ini menunjukkan empat kelas hutan HCS. Ambang batas bagi hutan HCS potensial berada di antara kelas Hutan Regenerasi Muda (HRM)/ Young Regenerating Forest (YRF) dan Belukar/Scrub(B).
HCS Approach Toolkit ini akan memberikan panduan para praktisi melalui berbagai tahap pengidentifikasian hutan HCS, yaitu mulai dari stratifikasi awal terhadap vegetasi melalui citra satelit dan plot lapangan, melalui proses Decision Tree untuk mengkaji nilai konservasi patch hutan HCS pada lanskap dan memastikan hak dan mata pencaharian masyarakat dihormati, hingga proses pembuatan peta final mengenai konservasi dan pemanfaatan lahan.
Sekian yang dapat saya sampaikan tentang HCS Approach Toolkit. Semoga dengan adanya HCS Approach Toolkit ini akan memberi keuntungan kepada semua pihak, baik kepada masyarakat secara umum maupun masyarakat yang hidupnya bergantung langsung kepada hutan, petani kecil, industri besar hingga industri kecil, para pemangku kepentingan, dan juga pemerintah. Selain itu, semoga dengan diterapkannya HCS Approach Toolkit, kita dapat kembali melestarikan keanekaragaman hayati hutan tropis agar dapat dinikmati oleh anak cucu kita kelak.
Untuk gambaran lebih jelas tentang High Carbon Stock Approach, dapat dilihat pada video dibawah ini:
Dan kunjungi juga tautan-tautan berikut ini:
Web: www.highcarbonstock.org
Twitter HCS Approach: @Highcarbonstock
Youtube: High Carbon Stock Approach
Salam,
❤ Dina Safitri ❤
Sumber Referensi:
www.highcarbonstock.org
HCS Approach Steering Group, Eds. (2015). “The HCS Approach Toolkit.” Version 1.0. Kuala Lumpur: HCS Approach Steering Group
http://highcarbonstock.org/the-hcs-approach-toolkit/
www.jurnalbumi.com
www.trivia.id
www.kabarindonesia.com
Sedih banget kalo ada berita bencana banjir dan tanah longsor, padahal itu bisa tak terjadi kalo hutan tidak diusik
Betul mba, sebenarnya manusia juga berkontribusi atas terjadinya bencana-bencana longsor, banjir dan sejenisnya.. semoga kita semua bisa semakin aware untuk melestarikan hutan y mba..
hutan hrs kemabli hijau untuk keberlangsunagn hdp manusia
Betul mba, semoga dengan digunakannya HCSA oleh para pemangku kepentingan hutan kita bisa kembali hijau & lestari lagi
Alhamdulillah masih ada yg peduli dgn kelestarian alam. Aku jg mulai mikirin penghijauan di rumah nih, meski ga punya banyak lahan kosong tp pengen punya taman.
Betul mba, yang paling utama memang dari kita dulu ya mba.. saya juga lagi semangat tanam-menanam nih, terutama yang hasilnya bisa dikonsumsi, hihi
Aamiin, semoga anak cucu kita masih bisa merasakan hijaunya hutan yang bener-benersesuai fungsinya ya mbak. Kalau ada kerusakan atau pembakaran hutan, suka sedih lihatnya karena kelestarian hutan pasti terganggu. Semoga dengan adanya toolkit ini bisa membantu melestarikan hutan kita ya mbak
Aamiin, betul mba, sedih banget klo ada berita kebakaran hutan2 gitu..
Senang ketika ada organisasi, LSM, atau apapun namanya yang mau jadi pelopor untuk menjaga kelestarian hutan. Mereka memang yang pelopornya dan semua masyarakat juga harus sama pedulinya, biar benar2 maksimal hasilnya.
Betul mba, intinya memang sebaiknya saling bersinergi ya antara organisasi, LSM dan sejenisnya dengan semua masyarakat supaya kelestarian hutan bisa lebih terjaga^^