Persalinan Keduaku, dari Persalinan Palsu Hingga Persalinan Sebenarnya
Assalamu’alaikum teman-teman..
Alhamdulillah, akhirnya bisa nulis juga tentang cerita persalinan kedua saya. Kayaknya postingan ini lumayan cukup panjang, jadi ada baiknya temen-temen yang memang pingin baca, tuntasin dulu kerjaannya, jangan lupa sedia air minum dan juga cemilan, hehe. Kalau bisa bacanya saat anak udah bobo, saat jemuran udah diangkat, saat tugas-tugas negara sudah dilaksanakan, dll, hihi.
Nah, berikut ini kronologi persalinan anak kedua saya, sebenarnya hampir mirip sih dengan persalinan pertama saya (dari pembukaan satu sampai sepuluh memakan waktu yang nggak sebentar), cuma di persalinan kedua ini saya sempat mengalami tanda persalinan PALSU. Well, langsung saja ya biar nggak kepanjangan.
Jum’at, 20 April 2018
Pagi sekitar jam setengah enam saya dikagetkan dengan adanya flek berwarna merah kecoklatan, saya kira itu bloody show, karena memang diiringi sedikit nyeri seperti ketika haid. Kebetulan sehari sebelumnya saya beberapa kali melakukan gerakan senam hamil (di kehamilan kedua ini saya tergolong jaraaanngg banget senam hamil, beda dengan kehamilan pertama yang tiap pagi rutin senam hamil semenjak usia kehamilan 8 bulan).
Baca juga:
Welcome to the World, My Baby Hasna Aisyah
Perkiraan Biaya Melahirkan di Medan
Saat itu panik banget, karena suami saya sedang di Medan untuk tes TOEFL (Qaddarullah saat itu merupakan kali kedua suami saya ke Medan dalam waktu 1 pekan). Deg-degan banget karena nggak kebayang rasanya kalau harus lahiran sendiri di Kutacane, sedangkan Aisy masih berusia 2,5 tahun dan disini sama sekali tidak ada sanak saudara. Saat itu juga saya langsung menelepon suami, rencananya suami akan tes TOEFL lagi pada jam 8 pagi (suami sebenarnya sudah tes TOEFL pada kamis siang, tapi just in case scorenya nggak mencukupi, rencananya beliau akan tes lagi, supaya nggak perlu bolak-balik ke Medan lagi, karena di Kutacane tidak ada tempat atau lembaga yang menyediakan TOEFL Prediction Test apalagi TOEFL ITP, hiks). Akhirnya suami memutuskan untuk pulang pagi itu juga dan tidak jadi mengambil tes TOEFL.
Perjalanan dari Medan ke Kutacane memakan waktu sekitar 6 – 8 jam, sehingga diperkirakan suami sampai di Kutacane pukul 4 sore. Saya pun menghubungi bidan yang dulu menangani saya saat melahirkan Aisy, setidaknya untuk memastikan bahwa beliau tidak sedang keluar kota. Sambil menunggu suami, saya hanya tiduran saja di kasur dan memang suami juga melarang saya banyak beraktifitas, karena khawatir pembukaan bertambah sedangkan suami belum sampai di rumah.
Akhirnya suami sampai di Kutacane dengan selamat, Alhamdulillah. Rencananya kami akan periksa ke bidan, tapi qaddarullah saat itu hujan deras. Ditambah lagi kontraksinya masih hilang timbul dan rasa nyerinya juga belum bertambah.
Sabtu, 21 April 2018
Hari ini kontraksi justru menghilang dan saya tidak merasakan nyeri lagi. Tapi daripada kepikiran dan nggak tenang, akhirnya malam harinya kami ke rumah bidan untuk periksa pembukaan. Ternyata masih bukaan 1 sempit. Memang kontraksi yang saya rasakan masih sesekali (banget). Saya sempat khawatir karena tidak bisa merasakan gerakan bayi saya. Saya bertanya kepada bidan pun beliau kesulitan mencari denyut jantung bayi saya. Akhirnya malam itu juga kami periksa di SpOg. Alhamdulillah semuanya baik-baik saja.
Baca juga: Review Dokter Kandungan di Medan
Ahad, 22 April 2018
Akhirnya pagi ini kami membeli nanas, manatahu manjur untuk mempercepat proses pembukaan. Saat itu saya hanya makan setengah buah karena nggak tahan sama gatelnya. Sebetulnya yang bikin semakin tambah galau selain tentang kesejahteraan bayi yang saya kandung adalah apakah saat itu saya masih diwajibkan sholat fardhu atau tidak. Mengingat sudah sejak Jum’at pagi saya tidak sholat dan belum kunjung bersalin juga. Setelah tanya dan membaca berbagai artikel via yufid.com (search engine islam), akhirnya besok pagi (hari ketiga) adalah penentu apakah saya sholat atau tidak. Oh iya, saat itu juga saya banyak (banget!) melakukan senam hamil, sampai-sampai badan rasanya kecapekan dan pegel-pegel, wkwk.
Senin, 23 April 2018
Pagi harinya saya kembali mengecek dan ternyata Alhamdulillah muncul flek kemerahan lagi (setelah 2 hari yang lalu hanya ada flek kuning kecoklatan), saat itu saya berharap semoga ini memang tanda persalinan yang sebenarnya. Hari ini saya beberes total kamar, manatahu memang adiknya Aisy akan segera lahir. Saya mulai beberes sejak jam setengah sepuluh pagi sampai jam setengah empat sore (lama amat yak? Hihi). Alhamdulillah sekitar jam 11-an saya sudah mulai merasakan kontraksi dan nyeri-nyeri walaupun masih jarang dan masih bearable. Setelah selesai beberes saya hanya memperbanyak tiduran menghadap kiri saja, karena sudah kecapekan dan khawatir kehabisan tenaga saat nantinya menghadapi proses persalinan.
Menjelang maghrib intensitas kontraksi dan nyeri sudah semakin meningkat. Saat itu saya mendownload aplikasi Contraction Timer untuk menghitung kontraksi. Kontraksi masih belum teratur namun durasi kontraksinya sudah hampir teratur (saat itu sekitar 45 detik setiap kontraksi). Yang saya rasakan setiap kontraksi datang adalah perut mules dan langsung berkeringat berbulir tapi hanya di bagian dahi dan leher (saat hamil pertama dulu kebetulan saya tidak berkeringat berbulir baik dari bukaan 1 sampai 10, makanya heran saat itu ada yang bilang biasanya kalau bukaan 10 keringatnya berbulir-bulir). Rencananya kami akan ke bidan untuk cek pembukaan, tapi Qaddarullah hujan deras.
Selasa, 24 April 2018
Sekitar jam setengah 12 malam saya terbangun oleh rasa sakitnya kontraksi. Sejak saat itu saya sudah tidak bisa tidur lagi. Sekitar jam 1 saya membangunkan suami karena rasa sakitnya sudah semakin bertambah. Sampai jam 2 dini hari saya sudah kesakitan sekali dan rasanya sudah nggak sanggup klik-klik aplikasi kontraksi, sehingga sudah tidak tercatat lagi durasi dan rentang kontraksinya. Tapi yang jelas sudah semakim intens.
Saat itu ketika saya ke kamar mandi kontraksi datang, tidak lama setelah selesai dari kamar mandi kontraksi kembali muncul lagi. Sepertinya jarak antar kontraksi tidak sampai 5 menit. Suami saat itu bergegas untuk menyiapkan beberapa barang yang belum dimasukkan ke tas bersalin, seperti HP, powerbank, kurma, zam zam, dan lain-lain.
Sekitar jam 3-an nyerinya sudah semakin bertambah lagi, bahkan ketika kontraksi datang saya bingung harus bagaimana lagi untuk meminimalisir rasa sakit, untuk duduk sakit, berdiri sakit, posisi merangkak sakit, pokoknya serba salah, masyaAllah.
Kami pun bergegas berangkat segera setelah kontraksi mereda. Baru saja akan naik motor, kontraksi datang lagi. MasyaAllah rasanya.. Akhirnya daripada ngeluh, saya melakukan afirmasi ke saya dan bayi saya (sebelum-sebelumnya saya jarang banget menerapkan hypnobirthing/afirmasi ini), beberapa afirmasi yang saya ucapkan seperti lahiran lancar ya Allah, bisa lahiran normal, bunda dan adek sehat, adek bantu bunda ya, dan sejenisnya. Afirmasi ini saya ucapkan berulang sepanjang perjalanan. Saat di rumah, ketika kontraksi masih bearable saya membaca surat al-zalzalah. Saat sudah bertambah sakit, saya hanya bisa istighfar saja (udah ga konsen lagi saking mantab sakitnya, MasyaAllah).
Belum sampai setengah perjalanan, saya merasakan kontraksi hebat lagi, kali ini rasanya seperti ada yang mau keluar dan rasa sakitnya lumayan lama. Sebelum berangkat saya sudah berpesan pada suami untuk menghentikan laju motor jika kontraksi datang. Suami pun menghentikan laju motornya selama sekitar 2 – 3 menit, baru kemudian melanjutkan perjalanan.
Akhirnya sampai juga di rumah bidannya. Sebenarnya jarak dari rumah kami ke rumah bidan tidak terlalu jauh, mungkin dengan laju motor normal hanya berjarak 5 menit jika lewat jalan terdekat. Namun untuk menghindari polisi tidur dan lubang jalanan, suami memutuskan untuk lewat jalan besar saja, sehingga harus sedikit memutar. Ditambah lagi saat itu suami juga tidak berani untuk mempercepat laju motor, karena meningkatkan rasa sakit yang saya rasakan.
Kami sampai di rumah bidan tepat pukul 3.13 dini hari. Saat itu nomor bidannya tidak bisa dihubungi (belakangan baru kami sadar ternyata nomornya bukan tidak bisa dihubungi, melainkan ada semacam iklan dari operator sebelum nada sambung, hihi).
Sudah tak terhitung berapa kali kami menggedor-gedor pintu (besi), karena bagian depan dari rumah bidannya digunakan sebagai klinik bersalin, sehingga butuh tenaga ekstra untuk membangunkan bidannya. Sembari menggedor suami menelepon asisten bidan, akhirnya biidznillah bidan tersebut terbangun setelah menerima telpon dari asistennya.
Lega sekali rasanya ketika pintu sudah dibuka, yaitu pada pukul 3.20 (lihat dari log panggilan biar jamnya valid, hihi).
Begitu masuk ke ruang bersalin, saya dicek pembukaannya. Dan ternyata sudah bukaan 10 alias bukaan lengkap, pantas saja rasanya nano-nanooooo banget. Saat itu bidannya tengah sibuk menyiapkan infus dan lain-lain.
Setelah infus selesai dipasang (Qaddarullah sempat salah tusuk, yang menyebabkan kemerahan dan nyeri beberapa hari pasca lahiran, hiks), saya langsung bertanya ke bidannya, “Bu, kapan saya boleh melahirkan?” wkwk. Karena memang udah nggak karuan banget sakitnya, dan ngerasa di persalinan kali ini saya ‘berisik banget’ (walaupun nggak teriak-teriak dan ‘destruktif’ sih, hihi) tapi yang jelas beda saat proses persalinan Aisy dulu, saat bukaan 10 masih bisa ‘agak anteng’.
Akhirnya saya pun dipersilahkan untuk mengejan ketika kontraksi datang. Sekali mengejan, bayi belum keluar. Kemudian mengejan lagi, masih belum keluar. Hingga akhirnya kali ketiga mengejan, di tengah proses mengejan saya merasakan rasa panas dan perih, suami dan bidan menyemangati saya, katanya kepalanya sudah terlihat. MasyaAllah, alhamdulillah lahirlah bayi kedua saya (laki-laki) dengan selamat tepat pada pukul 3.40 dini hari.
Muhammad Hasan Abdullah (Hasan)
Nama yang kami sematkan untuk anak kedua kami. Kami berharap ia menjadi hamba Allah yang berakhlak mulia, sebagaimana akhlaknya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan Hasan radhiyallahu ‘anhu, cucu beliau.
Hasan, satu makna dengan Hasna (Hasna Aisyah, anak pertama kami), kami berharap anak-anak kami menjadi hamba-hamba Allah yang baik dan berakhlak mulia. Aamiin..
MasyaAllah rasanya nano-nano baaangeeet, berasa kayak pertama kali melahirkan normal. Karena di kehamilan kedua ini saya sempat merasa pesimis bisa melahirkan normal, salah satunya karena sempat mengalami persalinan palsu. Selain itu, yang membuat saya bertambah amazed (masyaAllah), berbeda dengan persalinan pertama, kalau yang Aisy dulu saya saking udah lemesnya (pembukaan yang lama dan juga proses mengejan 45 menit) ditambah lagi nggak ngerti cara mengejan, sampai perut saya didorong-dorong berkali-kali. Yang kali ini, masyaAllah, biidznillah bisa lahir tanpa harus didorong-dorong, dan Alhamdulillah nggak sampai kehabisan tenaga meskipun pasca bersalin. Hadza min fadhli Rabbi.
Begitu lahir, Hasan langsung menangis dengan keras dan lumayan lama, bahkan asisten bidan yang menanganinya sempat dipipisin, masyaAllah, hihi. Setelah dibersihkan, bayi saya dipakaikan baju dan dibedong. Sedangkan saya masih harus dijahit (3 jahitan). Setelah selesai dijahit, baru kemudian dilakukan IMD (IMD-IMDan sih sebenernya, karena Hasan langsung disodorkan ke PD saya, bukan dibiarkan mencari sendiri).
Alhamdulillah meskipun harus menunggu berhari-hari, insyaAllah Hasan lahir di saat yang tepat. Karena pada hari Hasan lahir, ibu bidan yang menangani saya pada jam 8 pagi harinya akan pergi keluar kota (Medan) selama 5 hari. Selain itu, menjelang hari kelahiran Hasan sampai hari ahad (tanggal 22 April) suami saya sedang sibuk-sibuknya. Alhamdulillah ketika Hasan lahir suami sudah tidak terlalu sibuk dengan pekerjaannya.
Sebenarnya (Qaddarullah) di persalinan kali ini lumayan banyak hal yang bikin lumayan kecewa, hiks. Diantaranya adalah:
Pertama, suntikan infus yang meleset, lumayan bikin nyeri tapi selama nggak membahayakan it’s okay sih, seminggu setelah lahiran memarnya Alhamdulillah udah hilang (Anw, membahayakan nggak ya?).
Kedua, belakangan baru saya tahu, begitu bayi saya lahir dan dihandukin sama asisten bidannya, ternyata dia sempat-sempatnya mengambil video bayi saya, padahal bayi saya belum diapa2in. Pertama, harusnya dia minta ijin dulu ke kami sebagai orang tuanya. Kedua, seharusnya kewajiban dia handle bayi saya dulu. Bayi udah nangis-nangis tapi malah divideo-in. Kan sedih, huhu.
Ketiga, ketika akan kembali ke rumah (lahiran jam 3.40 dini hari, jam 11.30 sudah harus kembali ke rumah), baru saya dan suami diberi tahu oleh asisten bidan yang satu lagi bahwa ternyata timbangan bayinya rusak. Pantes saja kami cerewet berkali-kali minta anak saya ditimbang kok ga ditimbang-timbang. Padahal saat googling, seharusnya begitu bayi lahir itu harus segera ditimbang. Akhirnya cuma ditimbang pakai timbangan dewasa analog, beratnya sekitar 3 kg. Padahal kalau bidannya jujur timbangan rusak, suami bisa pulang ke rumah untuk ambil timbangan koper (digital) supaya hasilnya lebih valid. Kenapa saya kok kayaknya ga terima banget? Karena yang saya amati saat Aisy dulu, salah satu pertanyaan yang hampir selalu ditanyakan terutama jika berobat maupun konsultasi tumbuh kembang adalah berat badan lahirnya. Jadi sedih aja gitu nggak tahu berat lahirnya berapa, qaddarullah. Begitu juga dengan panjang badan, ga diukur juga, hiks. Apalagi lingkar kepala, huhu.
Keempat, ketika bayi saya sudah dibedong rapi tidak segera dibawa ke saya, padahal saat Aisy dulu langsung dibawa ke saya untuk IMD. Yang kemarin, Hasan baru dikasih ke saya untuk IMD sekitar 5 menit setelah proses penjahitan selesai, hiks.
Kelima, pada hari kelima pasca kelahirannya, saat akan dimandikan, tali pusar Hasan dilepas ‘paksa’ oleh asisten bidannya. Padahal luka belum kering, sehingga bernanah sampai sekarang (hari ke 19), walaupun alhamdulillah sekarang nanahnya sudah tinggal sedikit sekali, masyaAllah. Saat tali pusarnya dilepas, qaddarullah kami sedang menyiapkan kebutuhan mandi Hasan. Nggak nyangka aja bakal dilepas paksa, hiks.
Keenam, vaksin Hb0 dan vitamin K kosong. Namun untuk Hb0 bidannya mengatakan akan berusaha mencarikan. Sedangkan untuk vitamin K memang tidak ada. Sampai di hari ketujuh (malam hari) baru bidannya bilang kalau vaksin Hb0 nya tidak ada. Itu pun setelah kami telpon dan WA. Alhamdulillah keesokan harinya (walaupun telat 1 hari) suami mencari di tempat bidan lain dan alhamdulillah vaksin Hb0nya ada.
Saya banyak membandingkan persalinan Hasan dengan persalinan Aisy karena saya melahirkan dan juga ditangani oleh bidan yang sama, di tempat yang sama. Walaupun ternyata menurut kami pelayanannya jauh lebih baik saat melahirkan Aisy.
Alhamdulillah ‘alaa kulli haal.. tetap harus bersyukur (bersyukur baangeeet malah) atas segala nikmat dan kemudahan yang Allah berikan ini.
Semoga Hasan bisa menjadi anak yang shaleh dan penyejuk pandangan terutama bagi kami kedua orangtuanya.. Mohon doanya ya^^.
Well, itu saja sepertinya postingan saya tentang pengalaman melahirkan kedua ini. Semoga ada manfaat yang bisa diambil.
Punten ya kalau kepanjangan dan berbelit-belit. As an ISFJ, I feel like I need to write everything in details, sebenarnya bukan untuk pembaca blog ini sih, tapi lebih ke merekam apa yang saya alami, sehingga bisa saya jadikan patokan kalau Allah berkehendak menitipkan amanahNya kembali kepada kami 🙂
See you on my next post ya, insyaAllah^^
Salam,
Dina Safitri
Alhamdulilah selamat y mba, btw anakku yg pertama jg namanya Hasna sempat mau kasih nama adenya yg baru lahir bulan kmrin jg Hasan tapi ga jadi hehehe nanti kita kembaran y mb hahaha..
btw aku penasaran itu las Hasan divideoin emang buat apa kok divideoin mba ?
Makasih mba.. baru lahiran jg ya mba, selamat ya mba..
wah, klo jadi nama adeknya hasan juga kembaran ya kita mba, hihi..
Klo pas lahiran anak pertama dulu, asisten bidan yg ambil video ini tugasnya ngurus newbornya mba, nah kmarin krn sy telat datang (udah bukaan 10 & asisten bidan yg 1 lg masih d rumah), jd asisten bidan yg ngurus newborn ini ikut bantuin sy. Mungkin dia mau ngasih tahu tmnnya klo habis bantuin lahiran, tp ga tahu jg sih mba, huhu