In this blog

  1. Motherhood & Parenting, click:

parenting

2. Traveling, click:

3. Review, click:

review mbakdina.com

 

My other blogs

Curhat, My Family

Kisah Sedih Dibalik Wisuda

Disclaimer: Postingan ini murni berisi tentang curhat semata, Silahkan [Skip] ke artikel yang lain jika dirasa kurang bermanfaat 😉

Ceritanya pagi ini (ketika tulisan ini dibuat) saya habis baca postingan tentang pendadaran. Dan tiba-tiba jadi teringat momen ketika wisuda dulu, kurang lebih sekitar bulan Februari 2014. Wisuda itu disatu sisi bagi saya merupakan momen yang ditunggu-tunggu, tapi di sisi lain juga merupakan momen yang sebenarnya sangat ingin saya hindari jika memungkinkan. Alasan kenapa merupakan momen yang ditunggu-tunggu sudah jelas banget lah ya. Scara mahasiswa itu pada umumnya memang berkeinginan untuk cepat lulus dari jenjang pendidikannya. Iya, sama saya juga begitu kok, waktu itu pingin banget cepat lulus, apalagi qoddarullah penelitian untuk skripsi saya itu cukup panjang (lebih dari 1 tahun, normalnya 4-6 bulan) dan melelahkan karena dulu ikut proyek dosen. Sudah rahasia umum kali ya kalau ikut proyek dosen itu biasanya tingkat kesukaran maupun kerempongannya lebih tinggi, karena biasanya variable yang diuji lebih banyak. Dan memang banyak teman-teman kuliah saya yang bilang penelitian kami (saya dan satu orang partner saya) ini sudah hampir setaraf penelitian S2, huhuhu.

Kembali ke wisuda yaa.. Nah, berbeda dari orang-orang pada umumnya, saya sebenarnya kalau bisa nggak ikut wisuda mah mending nggak ikut aja sekalian, huhu. Berhubung di jurusan saya tiap semesternya ada tabungan khusus (wajib disetorkan) untuk wisuda dan pendadaran, alhasil kalau saya nggak ikut wisuda ya uang tabungan tersebut bakal melayang, alias nggak dibalikin ke kita, hiks. Sayang banget rasanya karena uang 1000 perak pun sangat berharga bagi saya saat itu (karena kuliah bergantung dari uang beasiswa maupun ‘bantuan’ dari orang-orang terdekat). Alhasil setelah dipikir-pikir akhirnya ikutlah saya ke wisuda, baik wisuda universitas (pagi harinya) maupun wisuda jurusan (siang harinya).

Sebenarnya alasan terbesar saya kenapa nggak mau ikut wisuda karena saya takut BAPER, dududu. Saya nggak mau momen wisuda SMA saya terulang lagi saat wisuda kuliah ini. Jadi ceritanya, saat SMA dulu, saya satu-satunya siswa yang tidak didampingi oleh siapapun ketika wisuda, padahal saat itu saya juara pertama (juara umum) di sekolah, jadi kan pasti jadi sorotan, dan ketika naik ke panggung cuma sendirian tanpa ortu itu rasanya nyess (cuma bisa mewek di dalam hati), huhu. Ditambah lagi banyak yang mengasihani saya saat itu. Percayalah, orang yang sedang bersedih atau terpuruk itu sebenarnya sangat tidak suka dikasihani, karena justru akan menambah kesedihannya. Mereka hanya butuh disupport dan dibesarkan hatinya, trust me.

Baca juga: #Memesonaitu Ketika Mampu Bangkit Setelah Kehilangan Orang Tercinta

Bagi yang membaca artikel ini dan belum tahu duduk perkaranya, saya kasih tahu aja ya biar nggak ada dzhon (prasangka) kenapa kok bisa wisuda tanpa didampingi ortu. Well, I’m not as lucky as you, guys (walaupun saya yakin masih banyak banget yang lebih ‘ngenes’ daripada saya). Jadi sebenarnya kedua orang tua saya merupakan korban dari bencana alam tsunami di Aceh 2004 silam. Ayah saya dinyatakan meninggal, sedangkan ibu saya dinyatakan hilang (makanya setiap ke Banda Aceh saya selalu berharaaaap banget bisa menemukan ibu saya disana, hiks). Mungkin beberapa teman saya (terlebih teman jaman kuliah) banyak yang tidak tahu karena saya dulu tidak pernah mengekspose tentang hal ini, buat apa juga diekspose dan juga saya tidak ingin dikasihani, tidak ingin mereka berteman dengan saya hanya karena KASIHAN. Saya juga tidak siap kalau tiba-tiba jadi baper dan mewek kalau ditanya-tanya tentang ini, huhu. Tapi Alhamdulillah setelah menikah sepertinya saya sudah lebih bisa memanage kebaperan saya tentang hal ini. Jadi ketika ada yang tanya ya saya jawab aja apa adanya. Kalau dulu ketika ada yang tanya tentang orang tua biasanya nggak saya jawab dengan jelas, jadi cuma jawaban ngambang dan ambigu gitu, hehe.

Dan akhirnya yang saya takutkan terjadi ketika wisuda kuliah. Untuk wisuda universitas, awalnya saya bingung mau mengundang siapa, karena orang yang saya inginkan untuk hadir berhalangan hadir di tanggal itu. Akhirnya daripada sayang snack, dll-nya nggak terpakai padahal sudah disediakan, saya undang aja temen kos saya waktu itu. Alhamdulillah saat itu dia nggak ada kuliah dan mau untuk datang, hehe.

Prosesi wisuda pun dimulai, mulai dari antri untuk masuk ke dalam gedung GSP (Graha Sabha Pramana), udah mulai sedih sih, karena hampir semua didampingi oleh keluarga, baik rombongan besar maupun kecil. Tapi Alhamdulillah saya tetap bersyukur ada adik kos yang mau nganterin ke GSP jam 6 pagi (di peraturannya sih nggak boleh lewat dari jam 6 pagi). Ketika di dalam ruangan sih saya biasa aja, toh cuma duduk doang dan nerima ijazah.

Ijab sah? ;D. Maafkan keburaman ini, karena fotonya pakai HP jadoel nokia N70 dan di dalam kamar kos, sore-sore lagi, komplit ;D

Berada di GSP mengingatkan saya ketika ibu saya wisuda pasca sarjana disana, beberapa bulan sebelum terjadi tsunami. Saat itu saya masih duduk di bangku SMP, dan mungkin ibu saya tidak akan pernah menyangka kalau saya juga akan di wisuda di gedung ini. Karena berbeda dengan kakak saya, saya sedari kecil hingga akhirnya tsunami terjadi bukanlah tipe pembelajar dan juga rangking saya selalu pas-pasan banget, baik ketika SD maupun SMP. Semenjak tsunami baru saya ‘semangat’ belajar, bukan semangat juga sih sebenarnya, karena belajar saya gunakan sebagai bentuk ‘pelampiasan’ saya saat itu agar sibuk dan tidak merasa kesepian. Sedih sih, selama ibu saya masih hidup saya belum bisa memberikan yang terbaik maupun membuat ibu saya bangga terhadap prestasi saya, huhu.

Setelah Selesai semua rangkaian acara wisuda, para peserta dan tamu undangan pun pada bubar, ada yang sibuk foto-foto, ada yang foto di ‘studio’ dadakan, ada yang kumpul sama keluarga dan teman-teman, dan lain-lain. Kalau saya saat itu bingung muter-muter nyari temen kos saya, nggak ketemu-ketemu sampai muterin GSP 2 kali dan dilihatin, mungkin orang-orang pada heran kali yak ngapain saya bolak-balik nggak jelas, sendirian lagi. Akhirnya ketemu juga sama temen kos saya, ngobrol-ngobrol nggak sampai 5 menit terus dia pamit karena ada kuliah. Saat itu saya bingung mau ngapain, teman-teman saya lagi pada sibuk family time semua, wajar sih, kalau saya jadi mereka pasti juga bakal begitu.

Akhirnya karena bingung mau ngapain saya balik ke fakultas sendiri, jalan kaki, pakai toga sambil pegang bunga (pemberian dari teman-teman) dan menahan air mata, huhu. Asli sedih banget karena merasa sendiri dan jadi kangen banget sama ortu, terutama ibu saya, hiks. Sampai di kampus masih sepi banget orang, karena rata-rata masih pada di GSP, akhirnya saya cuma duduk aja nungguin teman-teman pada datang.

Untuk wisuda (pelepasan) di fakultas Alhamdulillah pakde dan bude saya bisa datang. Senang rasanya, soalnya mungkin kalau nggak datang saya bakal mewek beneran. Soalnya wisuda fakultas ini duduknya diatur per baris ada 3 kursi yang idealnya diisi oleh mahasiswa di sebelah kiri dan kedua ortu disebelahnya. Jadi kalau pakde dan bude saya saat itu nggak dateng ya saya bakal duduk sendirian dengan 2 kursi di sebelah saya kosong, hiks.

Selepas acara selesai saya balik ke kos dianter pakde. Sungguh hari yang melelahkan baik secara fisik maupun emosional. Tapi semua itu harus saya syukuri, karena meskipun kedua ortu saya sudah tidak ada, Alhamdulillah saya selalu dikelilingi oleh orang-orang yang superb baik, masyaAllah. Jazaahumullah khoiran, hanya Allah yang bisa membalas segala kebaikan-kebaikan mereka.

Salam,


♥Dina Safitri♥

21 thoughts on “Kisah Sedih Dibalik Wisuda

  1. Satu kata untuk kamu mba, HEBAT. Aku salut. Nggak semua orang loh bisa bangkit dari kesedihan ditinggal orang tua. Kamu hebat bisa membuktikan ke almarhum orang tua klo kamu berhasil menyelesaikan pendidikan. peluuuukkkks

    1. Maaf mba baru bales, kemarin kehabisan kuota internet, hihi.. aamiin, terima kasih mba.. tapi sebenarnya saya biasa aja kok mba, ga hebat seperti yang mba bayangkan, hihi.. peluuukkk 😉

          1. Hu um,. Aisy belum pernah ketemu ya sama khaalah.. smoga pas ke Jogja bisa ketemu ya..

  2. Ah, ikutan sedih bacanya. Jd inget tsunami :(.. Temen dan sodaraku jg banyak meninggal soalnya.. Tapi, akhirnya seneng ya mba pakde dan bude bisa dtg k wisudamu :).. Momen yg paling ptg juga itu ,selain menikah 🙂

    1. Iya mba.. bersyukur ada keluarga yg bisa dateng pas wisuda, kalau nggak krik krik banget pasti, hiks.. betul mba, momen yb ditunggu-tunggu, hihi

  3. Mbak.. Ortu mbak beruntung punya perempuan soleha seperti mbak dina..

    Hiks maaf. Kebawa suasana. Nangis deh. #baperakut

  4. Lagi iseng googling tentang daftar kuliah TPHP zaman sekarang eh nemu halaman ini.
    maklum saya alumni angkatan lawas, ga usah disebut, tapi mba Dina pasti dulu praktikan saya di semester 1,

    Subhanallah, tadinya saya mikir saya kondisi saya cukup “tough”, ternyata banyak yang lebih tough, seperti mbak Dina. Saya salut dengan ketegaran mba Dina, mengingatkan saya akan kata seorang bijak:
    Ketika hidupmu pernah jatuh ke titik paliiing bawah (0), maka setiap sekecil apapun pencapaian dalam hidupmu, adalah sebuah kemenangan yang mutlak bagi dirimu. You have nothing to loose because everything is a win.

    Saya berhraap, blog anda dibaca angkatan bawah TPHP Zaman now, karena yang saya lihat dari 3 angkatan terakhir yang skripsi, makin ke sini makin lembek.

  5. Saya lagi mau wisuda, trus nemu tulisan ini. Saya juga sempat berpikir ga ikut wisuda mba, toh cuma ceremonial, terlalu banyak uang yg dikeluarkan, dan juga karena orang tua saya tidak ada. Tp syukurnya nene saya dapat hadir, alhamdulillah. Pengen juga bisa wisuda didampingi orang tua seperti teman-teman yg lain. 🙁

    *btw meweknya sudah dicicil dari kemarin”, semoga aja pas wisuda nanti ga bakal mewek..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *